BIROKRASI ... OH BIROKRASI

Kamis, 02 Januari 20140 komentar



Birokrasi oh Birokrasi


GR-MKLB - Birokrasi merupakan lembaga penting dalam sebuah negara, karena memiliki kewenangan menyelenggarakan pemerintahan, mulai dari membuat peraturan, keputusan, kebijakan, dan melaksanakan pembangunan untuk kepentingan publik. Sebagaimana dikatakan sosiolog Inggris, Martin Albrow, birokrasi adalah sistem administrasi yang terstruktur, mencakup semua pegawai pemerintah, yang  mengalokasikan barang dan jasa dalam pemerintahan, dimana melalui birokrasi itu kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan. Birokrasi, dengan demikian merupakan lembaga kekuasaan penting yang berfungsi melaksanakan kegiatan pemerintahan (excecutive).
Montesquieu, filosof sosial dan politik Prancis abad 17 mengemukakan bahwa fungsi eksekutif yang dilakukan oleh birokrasi ini, bersama-sama dengan dua kekuasaan lainnya, yakni kekuasaan membuat undang-undang  (legislative) dan mengawasi pelaksanaan undang-undang (yudicative) merupakan kekuasaan-kekuasaan pokok dalam penyelenggaraan negara. Ketiga fungsi kekuasaan yang kemudian dikenal luas sebagai trias politica itu, merupakan konsep pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penumpukan kekuasaan di satu tangan (yang dulu terjadi di negara-negara monarchi absolut). Dengan pembagian kekuasaan ke dalam tiga fungsi itu, diharapkan akan terjadi mekanisme penyelenggaraan kekuasaan negara yang berlangsung berimbang dan saling kontrol antar lembaga kekuasaan (checks and balances).   
Seiring berjalannya waktu, birokrasi sebagai pelaksana fungsi eksekutif cenderung mengalami degradasi makna dan delegitimasi. Birokrasi sering dikaitkan dengan stigma negatif, seperti birokrasi yang koruptif, berbelit-belit (baca : birokratis), lamban dan kaku, lebih minta dilayani ketimbang melayani, tidak profesional, tidak efektif, tidak sensitif, bla bla bla..... Birokrasi semakin tersudut dan menjadi bulan-bulanan, ketika dia hidup di suatu negara dengan konstitusi yang menempatkannya berada dibawah tekanan dan pengaruh politik, atau setidaknya memungkinkan terjadinya politisasi birokrasi seperti yang terjadi di Indonesia.
Di Indonesia ? Iya. Berapa banyak Kementerian yang dipimpin oleh politisi, bukan birokrat profesional ? Bahkan undang-undang kita jelas-jelas memfasilitasi agar pimpinan birokrasi lokal (baca : para Kepala Daerah, yakni Gubernur, Bupati / Walikota) itu berasal dari jalur politik, bukan birokrat profesional. Ketika birokrasi Kementerian dan Pemerintah Daerah dipimpin oleh politisi, bukan birokrat profesional, maka yang akan terjadi sangatlah mudah ditebak : politisasi birokrasi. Muaranya, birokrasi diarahkan menjadi alat politik, alat untuk meraih tujuan-tujuan, target-target, dan agenda-agenda politik sang pemimpin yang politisi itu, bukan tujuan dan target birokrasi yang sesungguhnya, yakni administrasi untuk pelayanan publik. Ketika politisasi birokrasi berlangsung, dan birokrasi menjadi tidak profesional karenanya, lantas siapa yang paling dirugikan ? Tentu saja negara dan bangsa ini.  
Memang, tidak semua pemimpin birokrasi yang berasal dari politisi selalu membawa birokrasinya ke ranah politik. Ada beberapa yang tegas-tegas melepas ’baju’ dan kepentingan politiknya ketika dia telah menjadi pemimpin birokrasi. Politik partisan dan ambisi politik pribadinya digantikan dengan politik kebangsaan dan politik kenegaraan. Namun fakta menunjukkan, hampir menjadi mainstream bahwa para pemimpin birokrasi yang politisi cenderung melakukan politisasi birokrasi dengan berbagai macam bentuknya. Misalnya, Kepala Daerah berupaya membentuk ’kabinet’ yang loyal kepadanya (bukan loyal kepada konstitusi dan undang-undang) untuk menjalankan agenda-agenda politiknya, mendukung partai politiknya, dan untuk melanggengkan kekuasaannya.
Kasus banyaknya pejabat pelaksana tugas (Plt) di daerah-daerah, diturunkannya jabatan secara ekstrim (contoh : seorang Sekretaris Daerah langsung dijadikan staf Kecamatan gara-gara hendak maju menjadi calon Kepala Daerah, seorang pejabat struktural Eselon II kemudian dinon-jobkan karena alasan yang tidak berbasis aturan, dsb.), promosi jabatan yang dipaksakan untuk pegawai yang secara kepangkatan dan kemampuan belum memenuhi  dan pada saat yang sama pegawai yang berpangkat dan berkemampuan lebih baik justru ’diparkir’ karena pengangkatan jabatan tidak didasarkan pada prestasi kerja (merit system) melainkan like and dislike, dan kasus-kasus sejenis lainnya, menunjukkan aroma adanya politisasi birokrasi itu.
Loyalitas bagi birokrat memang merupakan hal yang tidak bisa ditawar, tapi loyalitas birokrat itu ditujukan kepada mandat melaksanakan peraturan perundang-undangan berdasaarkan etika birokrasi yang a-politis, administratif dan profesional, bukan loyalitas buta kepada apa keinginan dan kepentingan politik sang Kepala Daerah. Tapi apa boleh buat, sang Kepala Daerah sudah menjadi sedemikian berkuasanya sehingga dia layaknya telah menjadi ’Tuhan’ yang menentukan nasib para birokrat, tanpa bisa ditolak oleh si birokrat. Baperjakat yang merupakan lembaga resmi pemberi pertimbangan bagi Kepala Daerah dalam hal pemberian jabatan kepada birokrat (PNS) pun tidak bisa berbuat banyak, karena nasib mereka juga ditentukan sang Kepala Daerah.
Perilaku politisasi birokrasi oleh Kepala Daerah  itu menjadi semakin parah ketika lembaga legislatif lokal (DPRD) tidak menjalankan fungsi kontrolnya dengan baik. Terlebih lagi ketika komposisi keanggotaan DPRD itu mayoritas berasal dari partai politik yang sama dengan pengusung sang Kepala Daerah, maka jangan berharap tindakan politisasi birokrasi itu mendapat kritik atau teguran dari DPRD. Masa’ jeruk mau minum jeruk ? Membangun birokrasi lokal  yang profesional tampaknya sangat bergantung pada political will seorang Kepala Daerah. Langkah yang dilakukan Jokowi, Gubernur DKI Jakarta yang menggunakan mekanisme ’lelang’ melalui fit and proper test untuk mengisi jabatan Camat dan Lurah di wilayahnya kiranya patut diapresiasi dan dapat menginspirasi Kepala Daerah lainnya. Namun, seberapa banyak Kepala Daerah yang tergugah untuk melakukan langkah seperti itu ?
Walhasil, potret birokrasi daerah dan birokrasi Indonesia umumnya, agaknya masih akan tetap buram untuk jangka waktu yang panjang, ketika konstitusi  dan undang-undang kita tidak memberikan pondasi yang kokoh untuk membangkitkan profesionalitas birokrasi kita. Kuncinya terletak pada bagaimana pondasi itu dirancang sedemikian rupa sehingga politik tidak lagi bisa masuk ke ranah birokrasi / eksekutif. Biarkan birokrasi membangun profesionalitasnya dalam melaksanakan undang-undang dengan menggunakan nilai-nilai administrasi dan manajemennya yang a-politis, sehingga lebih menjamin pencapaian tujuan undang-undang itu bagi kepentingan rakyat. Sementara politik dikembalikan pada relnya untuk berkiprah di ranah pembuatan undang-undang (legislatif) dan kontrol politik terhadap pemerintah dan pemerintah daerah.
Dengan demikian kedua lembaga kekuasaan itu bersama lembaga yudikatif akan dapat melakukan mekanisme checks and balances yang sebenarnya. Ketika itu terjadi, maka bukan hanya Martin Albrow dan Montesquieu, melainkan juga seluruh birokrasi dan masyarakat Indonesia akan tersenyum bersama menatap cerahnya masa depan bangsa ini. Persoalannya, maukah sang pembuat undang-undang melakukan itu semua ? Maukah para politisi mengurangi kewenangan dan kekuasaan yang saat ini sedang mereka nikmati ? Semoga masih ada nurani untuk kejayaan bangsa ini.
Penulis adalah Dosen Universitas Islam Kadiri-Kediri, Alumnus Pascasarjana MAP-UGM Yogyakarta, Ketua Umum GR-MKLB, dan Admin Grup FB MKLB.
Artikel ini pernah dimuat di Radar Kediri – Jawa Pos Edisi Maret 2013

Oleh : Rahmat Mahmudi
Share this article :

Posting Komentar