Birokrasi oh Birokrasi
GR-MKLB - Birokrasi merupakan lembaga penting dalam sebuah negara,
karena memiliki kewenangan menyelenggarakan pemerintahan, mulai dari membuat
peraturan, keputusan, kebijakan, dan melaksanakan pembangunan untuk kepentingan
publik. Sebagaimana dikatakan sosiolog Inggris, Martin Albrow, birokrasi
adalah sistem administrasi yang terstruktur, mencakup semua pegawai pemerintah,
yang mengalokasikan barang dan jasa
dalam pemerintahan, dimana melalui birokrasi itu kebijakan-kebijakan negara
diimplementasikan. Birokrasi, dengan demikian merupakan lembaga
kekuasaan penting yang berfungsi melaksanakan kegiatan pemerintahan (excecutive).
Montesquieu, filosof
sosial dan politik Prancis abad 17 mengemukakan bahwa fungsi eksekutif yang
dilakukan oleh birokrasi ini, bersama-sama dengan dua kekuasaan lainnya, yakni
kekuasaan membuat undang-undang (legislative) dan mengawasi pelaksanaan
undang-undang (yudicative) merupakan
kekuasaan-kekuasaan pokok dalam penyelenggaraan negara. Ketiga fungsi kekuasaan
yang kemudian dikenal luas sebagai trias
politica itu, merupakan konsep
pembagian kekuasaan yang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penumpukan
kekuasaan di satu tangan (yang dulu terjadi di negara-negara monarchi absolut). Dengan pembagian
kekuasaan ke dalam tiga fungsi itu, diharapkan akan terjadi mekanisme penyelenggaraan
kekuasaan negara yang berlangsung berimbang dan saling kontrol antar lembaga
kekuasaan (checks and balances).
Seiring berjalannya waktu, birokrasi sebagai pelaksana
fungsi eksekutif cenderung mengalami degradasi makna dan delegitimasi. Birokrasi
sering dikaitkan dengan stigma negatif,
seperti birokrasi yang koruptif, berbelit-belit (baca : birokratis), lamban dan kaku, lebih minta dilayani
ketimbang melayani, tidak profesional, tidak efektif, tidak sensitif, bla bla
bla..... Birokrasi semakin tersudut dan menjadi bulan-bulanan, ketika dia hidup
di suatu negara dengan konstitusi yang menempatkannya berada dibawah tekanan
dan pengaruh politik, atau setidaknya memungkinkan terjadinya politisasi
birokrasi seperti yang terjadi di Indonesia.
Di Indonesia ? Iya. Berapa banyak Kementerian yang
dipimpin oleh politisi, bukan birokrat profesional ? Bahkan undang-undang kita
jelas-jelas memfasilitasi agar pimpinan birokrasi lokal (baca : para Kepala
Daerah, yakni Gubernur, Bupati / Walikota) itu berasal dari jalur politik, bukan
birokrat profesional. Ketika birokrasi Kementerian dan Pemerintah Daerah
dipimpin oleh politisi, bukan birokrat profesional, maka yang akan terjadi sangatlah
mudah ditebak : politisasi birokrasi. Muaranya, birokrasi diarahkan menjadi
alat politik, alat untuk meraih tujuan-tujuan, target-target, dan agenda-agenda
politik sang pemimpin yang politisi itu, bukan tujuan dan target birokrasi yang
sesungguhnya, yakni administrasi untuk pelayanan publik. Ketika politisasi
birokrasi berlangsung, dan birokrasi menjadi tidak profesional karenanya, lantas
siapa yang paling dirugikan ? Tentu saja negara dan bangsa ini.
Memang, tidak semua pemimpin birokrasi yang berasal dari
politisi selalu membawa birokrasinya ke ranah politik. Ada beberapa yang
tegas-tegas melepas ’baju’ dan kepentingan politiknya ketika dia telah menjadi
pemimpin birokrasi. Politik partisan dan ambisi politik pribadinya digantikan
dengan politik kebangsaan dan politik kenegaraan. Namun fakta menunjukkan,
hampir menjadi mainstream bahwa para
pemimpin birokrasi yang politisi cenderung melakukan politisasi birokrasi
dengan berbagai macam bentuknya. Misalnya, Kepala Daerah berupaya membentuk
’kabinet’ yang loyal kepadanya (bukan loyal kepada konstitusi dan
undang-undang) untuk menjalankan agenda-agenda politiknya, mendukung partai
politiknya, dan untuk melanggengkan kekuasaannya.
Kasus banyaknya pejabat pelaksana tugas (Plt) di
daerah-daerah, diturunkannya jabatan secara ekstrim (contoh : seorang
Sekretaris Daerah langsung dijadikan staf Kecamatan gara-gara hendak maju
menjadi calon Kepala Daerah, seorang pejabat struktural Eselon II kemudian
dinon-jobkan karena alasan yang tidak berbasis aturan, dsb.), promosi jabatan
yang dipaksakan untuk pegawai yang secara kepangkatan dan kemampuan belum
memenuhi dan pada saat yang sama pegawai
yang berpangkat dan berkemampuan lebih baik justru ’diparkir’ karena pengangkatan
jabatan tidak didasarkan pada prestasi kerja (merit system) melainkan like
and dislike, dan kasus-kasus sejenis lainnya, menunjukkan aroma adanya
politisasi birokrasi itu.
Loyalitas bagi birokrat memang merupakan hal yang tidak
bisa ditawar, tapi loyalitas birokrat itu ditujukan kepada mandat melaksanakan
peraturan perundang-undangan berdasaarkan etika birokrasi yang a-politis, administratif
dan profesional, bukan loyalitas buta kepada apa keinginan dan kepentingan politik
sang Kepala Daerah. Tapi apa boleh buat, sang Kepala Daerah sudah menjadi
sedemikian berkuasanya sehingga dia layaknya telah menjadi ’Tuhan’ yang
menentukan nasib para birokrat, tanpa bisa ditolak oleh si birokrat. Baperjakat
yang merupakan lembaga resmi pemberi pertimbangan bagi Kepala Daerah dalam hal
pemberian jabatan kepada birokrat (PNS) pun tidak bisa berbuat banyak, karena
nasib mereka juga ditentukan sang Kepala Daerah.
Perilaku politisasi birokrasi oleh Kepala Daerah itu menjadi semakin parah ketika lembaga
legislatif lokal (DPRD) tidak menjalankan fungsi kontrolnya dengan baik.
Terlebih lagi ketika komposisi keanggotaan DPRD itu mayoritas berasal dari
partai politik yang sama dengan pengusung sang Kepala Daerah, maka jangan
berharap tindakan politisasi birokrasi itu mendapat kritik atau teguran dari
DPRD. Masa’ jeruk mau minum jeruk ? Membangun
birokrasi lokal yang profesional
tampaknya sangat bergantung pada political
will seorang Kepala Daerah. Langkah yang dilakukan Jokowi, Gubernur DKI
Jakarta yang menggunakan mekanisme ’lelang’ melalui fit and proper test untuk mengisi jabatan Camat dan Lurah di
wilayahnya kiranya patut diapresiasi dan dapat menginspirasi Kepala Daerah
lainnya. Namun, seberapa banyak Kepala Daerah yang tergugah untuk melakukan langkah
seperti itu ?
Walhasil, potret birokrasi daerah dan birokrasi Indonesia
umumnya, agaknya masih akan tetap buram untuk jangka waktu yang panjang, ketika
konstitusi dan undang-undang kita tidak
memberikan pondasi yang kokoh untuk membangkitkan profesionalitas birokrasi
kita. Kuncinya terletak pada bagaimana pondasi itu dirancang sedemikian rupa
sehingga politik tidak lagi bisa masuk ke ranah birokrasi / eksekutif. Biarkan
birokrasi membangun profesionalitasnya dalam melaksanakan undang-undang dengan menggunakan
nilai-nilai administrasi dan manajemennya yang a-politis, sehingga lebih
menjamin pencapaian tujuan undang-undang itu bagi kepentingan rakyat. Sementara
politik dikembalikan pada relnya untuk berkiprah di ranah pembuatan
undang-undang (legislatif) dan kontrol politik terhadap pemerintah dan
pemerintah daerah.
Dengan demikian kedua lembaga kekuasaan itu bersama
lembaga yudikatif akan dapat melakukan mekanisme checks and balances yang sebenarnya. Ketika itu terjadi, maka bukan
hanya Martin Albrow dan Montesquieu, melainkan juga seluruh
birokrasi dan masyarakat Indonesia akan tersenyum bersama menatap cerahnya masa
depan bangsa ini. Persoalannya, maukah sang pembuat undang-undang
melakukan itu semua ? Maukah para politisi mengurangi kewenangan dan kekuasaan
yang saat ini sedang mereka nikmati ? Semoga masih ada nurani untuk kejayaan bangsa
ini.
Penulis adalah Dosen Universitas Islam Kadiri-Kediri,
Alumnus Pascasarjana MAP-UGM Yogyakarta, Ketua Umum GR-MKLB, dan Admin Grup FB
MKLB.
Artikel
ini pernah dimuat di Radar Kediri – Jawa Pos Edisi Maret 2013
Oleh
: Rahmat Mahmudi
Posting Komentar