“...ketika kejujuran telah menjadi langka, maka kehidupan ini akan penuh dengan kebohongan, kepalsuan dan kemunafikan...dan bila itu tiada berhenti maka kerusakan demi kerusakan akan terjadi di muka bumi...”
Sejak kita kecil dulu, orang tua, guru, dan agama kita
selalumengajari kita untuk berlaku jujur dan menghormati nilai kejujuran. Jujur
kepada diri sendiri, orang tua, guru, saudara, sesama dan Tuhan. Kita
diyakinkan bahwa jujur dan kejujuran merupakan hal yang begitu berharga, begitu
bernilai dan bermakna bagi kehidupan kita. “Wong kang jujur bakale dadi
luhur”atau “jujur agawe luhur”, begitulah kira-kira gambaran pentingnya nilai
kejujuran yang diinternalisasikan kepada kita.
Seiring bergulirnya waktu, di tengah perjalanan kehidupan
kita, didalam tempaan interaksi sosial di sekitar kita, perilaku jujur dan
menempatkan kejujuran sebagai sesuatu yang bernilai pada sebagian dari kita
perlahan-lahan mulai terkikis, tergerus, menipis dan bahkan mungkin sirna.
Nilai kejujuran menjadi terpinggirkan. Alasan ekonomi, politik, sosial, budaya
dan bahkan agama seringkali dijadikan argument pembenar (justifikasi) bahwa seseorang tidak harus jujur atau dalam kalimat
yang lebih halus “terpaksa tidak jujur”. Justifikasi
itu sendiri juga sudah dibalut ketidak-jujuran, karena sebenarnya alasan utama
yang membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi tidak jujur adalah untuk
membela kepentingan subyektifnya, apakah itu kepentingan individu ataupun
kelompok, yang acapkali berlatar belakang materialis-hedonistik.
Banyak kisah nyata di sekitar kita, baik dalam kehidupan privat maupun public. Dalam kehidupan privat
misalnya, seorang pedagang di pasar berbohong ketika ibu-ibu menawar harga
dagangannya : “...kolakane mawon mboten
nutut bu !” padahal dia ingin untung lebih besar. Di bedak sebelahnya si
pedagang beras dan gula nekat menggunakan timbangan yang tidak benar sehingga
merugikan pembeli. Di kehidupan rumah tangga seorang suami terbiasa beralasan
ada lembur di kantor ketika dia pulang larut malam padahal sebenarnya tidak,
sementara sang istri tidak jujur mengelola uang belanja, dan sang anak
ikut-ikutan mencoba berbohong dengan meminta uang untuk iuran, foto kopi atau
beli buku yang ternyata digunakan untuk jajan atau main play station.
Di lingkungan kantor atau perusahaan seorang staf
melaporkan hal-hal yang baik saja kepada pimpinan, sementara
permasalahan-permasalahan yang terjadi tidak dilaporkan atau malah direkayasa
agar tidak ketahuan. Sebagian pimpinan ketika menerima laporan jujur tentang
kondisi perusahaan yang sedang tidak “sehat” bukannya berterimakasih tetapi
malah marah, sementara dia sendiri tidak jujur tentang kondisi keuangan
perusahaan ketika karyawan minta kenaikan gaji.
Di lingkungan public
tidak kalah serunya. Beberapa waktu yang lalu Jawa Pos mengutip pernyataan
tokoh-tokoh lintas agama di negara kita bahwa pemerintah telah banyak melakukan
kebohongan publik dan mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan
kebohongan-kebohongan itu. Banyak Gubernur, Bupati dan Walikota yang berurusan
dengan hukum karena kebohongan dalam pengelolaan APBD alias korupsi. Beberapa
kali media memberitakan tentang kasus mafia pajak yang melibatkan aparat
pemerintah dan penegak hukum, juga mafia hukum yang memperjual-belikan tuntutan
jaksa dan putusan hakim, dan mafia legislasi yang memperjual-belikan pasal atau
ayat dalam peraturan perundang-undangan.
Di dunia politik, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak
elit politik yang tidak menepati janjinya saat kampanye, alias berbohong.
Pencitraan diri lebih menjadi pilihan strategi untuk menutupi kelemahan dan
kekurangan di mata rakyat, bukan bagaimana mereka mengatasi kelemahan dan
kekurangan itu. Wakil rakyat selalu mengatakan berjuang untuk rakyat, tapi
banyak diantaranya yang sebenarnya ikut-ikutan berbohong, dalam pemilu mereka
memilih calon yang “bayar” bukan calon yang “benar”. Dan sebagainya, dan
sebagainya...
Duh, sudah sedemikian parahnya ketidak-jujuran melanda
kehidupan
bangsa kita. Perilaku jujur menjadi langka. Lebih parah lagi sebagian dari kita bahkan takut untuk berbuat jujur, baik di lingkungan privat maupun public. Alasan-alasan takut dijauhi, takut cekcok, takut dibenci, takut dimarahi, takut dicopot jabatan, takut dipecat dan takut-takut lainnya menjadi pemicu sebagian orang berlaku tidak jujur. Kata-kata bijak “jujur agawe luhur” yang dulu kita terima dan kita yakini, dimata mereka yang takut itu rupanya telah berubah makna menjadi “jujur malah agawe ajur” sehingga harus dihindari dan dijauhi.
bangsa kita. Perilaku jujur menjadi langka. Lebih parah lagi sebagian dari kita bahkan takut untuk berbuat jujur, baik di lingkungan privat maupun public. Alasan-alasan takut dijauhi, takut cekcok, takut dibenci, takut dimarahi, takut dicopot jabatan, takut dipecat dan takut-takut lainnya menjadi pemicu sebagian orang berlaku tidak jujur. Kata-kata bijak “jujur agawe luhur” yang dulu kita terima dan kita yakini, dimata mereka yang takut itu rupanya telah berubah makna menjadi “jujur malah agawe ajur” sehingga harus dihindari dan dijauhi.
Bicara tentang takut, harusnya kita lebih takut terhadap
akibat ketidak-jujuran daripada takut terhadap akibat kejujuran itu. Karena setiap
ketidak-jujuran akan berkontribusi bagi timbulnya kerusakan demi kerusakan.
Kerusakan itu bagaikan gelindingan bola salju yang semula kecil namun bila
terus dibiarkan akan menjadi besar. Kerusakan itu akan terjadi pada diri kita,
keluarga kita, bangsa kita dan Negara kita. Sayangnya ternyata sebagian dari
kita lebih takut berbuat jujur dibanding takut pada kerusakan akibat
ketidak-jujuran. Maka terjadilah kerusakan-kerusakan yang nyata. Stress,
depresi, perilaku hipokrit, kriminalitas, perselingkuhan, perzinaan, perceraian, konflik, perilaku anarkhis,
kolusi, kong kalikong, rekayasa politik dan hukum ala mafioso, korupsi dan sebagainya adalah bukti kerusakan yang nyata akibat
ketidak-jujuran.
Jujur, marilah kita coba jujur pada diri sendiri, apakah
kita tergolong kelompok yang masih menghargai nilai kejujuran ? Coba kita rasakan,
adakah kemasygulan di hati kita melihat keadaan di sekitar kita yang penuh
ketidak-jujuran itu? Lalu seberapa kuatkah dorongan dihati kita untuk berusaha
berperilaku jujur, baik kepada diri sendiri, kepada orang-orang terdekat kita,
kepada sesama dan apalagi kepada Tuhan ?
Jujur, bahwa tulisan tentang kejujuran dan ajakan untuk kembali
menghormati nilai kejujuran seperti ini tidak selalu mendapatkan respon
positif, bahkan mungkin ada sebagian yang memandang naif bahkan mencibir sinis,
terutama oleh mereka yang memang sudah tidak pernah mampu dan mau berlaku
jujur. Namun bagi yang masih memiliki keyakinan terhadap begitu bermaknanya
sebuah kejujuran bagi kemaslahatan akan terus melekat di dasar hatinya suatu
kalimat bijak : “sejatine jujur iku agawe luhur, dudu agawe ajur “ dan tidak
pernah berhenti memperjuangkannya. (Tribute
untuk saudara-saudaraku yang terus gigih memperjuangkan kejujuran dan
kebenaran. Salam fastabiqul khoirot).
Penulis adalah Dosen Universitas Islam Kadiri-Kediri,
Alumnus Pascasarjana MAP-UGM Yogyakarta, Ketua Umum GR-MKLB, dan Admin Grup FB
MKLB.
Artikel ini pernah dimuat di Radar
Kediri – Jawa Pos Edisi November 2011
Oleh : Rahmat Mahmudi
+ komentar + 1 komentar
Posting Komentar