Kejujuran

Jumat, 03 Januari 20141komentar


“...ketika kejujuran telah menjadi langka, maka kehidupan ini akan penuh dengan kebohongan, kepalsuan dan kemunafikan...dan bila itu tiada berhenti maka kerusakan demi kerusakan akan terjadi di muka bumi...”
Sejak kita kecil dulu, orang tua, guru, dan agama kita selalumengajari kita untuk berlaku jujur dan menghormati nilai kejujuran. Jujur kepada diri sendiri, orang tua, guru, saudara, sesama dan Tuhan. Kita diyakinkan bahwa jujur dan kejujuran merupakan hal yang begitu berharga, begitu bernilai dan bermakna bagi kehidupan kita. “Wong kang jujur bakale dadi luhur”atau “jujur agawe luhur”, begitulah kira-kira gambaran pentingnya nilai kejujuran yang diinternalisasikan kepada kita.
Seiring bergulirnya waktu, di tengah perjalanan kehidupan kita, didalam tempaan interaksi sosial di sekitar kita, perilaku jujur dan menempatkan kejujuran sebagai sesuatu yang bernilai pada sebagian dari kita perlahan-lahan mulai terkikis, tergerus, menipis dan bahkan mungkin sirna. Nilai kejujuran menjadi terpinggirkan. Alasan ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan agama seringkali dijadikan argument pembenar (justifikasi) bahwa seseorang tidak harus jujur atau dalam kalimat yang lebih halus “terpaksa tidak jujur”. Justifikasi itu sendiri juga sudah dibalut ketidak-jujuran, karena sebenarnya alasan utama yang membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi tidak jujur adalah untuk membela kepentingan subyektifnya, apakah itu kepentingan individu ataupun kelompok, yang acapkali berlatar belakang materialis-hedonistik.
Banyak kisah nyata di sekitar kita, baik dalam kehidupan privat maupun public. Dalam kehidupan privat misalnya, seorang pedagang di pasar berbohong ketika ibu-ibu menawar harga dagangannya : “...kolakane mawon mboten nutut bu !” padahal dia ingin untung lebih besar. Di bedak sebelahnya si pedagang beras dan gula nekat menggunakan timbangan yang tidak benar sehingga merugikan pembeli. Di kehidupan rumah tangga seorang suami terbiasa beralasan ada lembur di kantor ketika dia pulang larut malam padahal sebenarnya tidak, sementara sang istri tidak jujur mengelola uang belanja, dan sang anak ikut-ikutan mencoba berbohong dengan meminta uang untuk iuran, foto kopi atau beli buku yang ternyata digunakan untuk jajan atau main play station.
Di lingkungan kantor atau perusahaan seorang staf melaporkan hal-hal yang baik saja kepada pimpinan, sementara permasalahan-permasalahan yang terjadi tidak dilaporkan atau malah direkayasa agar tidak ketahuan. Sebagian pimpinan ketika menerima laporan jujur tentang kondisi perusahaan yang sedang tidak “sehat” bukannya berterimakasih tetapi malah marah, sementara dia sendiri tidak jujur tentang kondisi keuangan perusahaan ketika karyawan minta kenaikan gaji.
Di lingkungan public tidak kalah serunya. Beberapa waktu yang lalu Jawa Pos mengutip pernyataan tokoh-tokoh lintas agama di negara kita bahwa pemerintah telah banyak melakukan kebohongan publik dan mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan kebohongan-kebohongan itu. Banyak Gubernur, Bupati dan Walikota yang berurusan dengan hukum karena kebohongan dalam pengelolaan APBD alias korupsi. Beberapa kali media memberitakan tentang kasus mafia pajak yang melibatkan aparat pemerintah dan penegak hukum, juga mafia hukum yang memperjual-belikan tuntutan jaksa dan putusan hakim, dan mafia legislasi yang memperjual-belikan pasal atau ayat dalam peraturan perundang-undangan.
Di dunia politik, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak elit politik yang tidak menepati janjinya saat kampanye, alias berbohong. Pencitraan diri lebih menjadi pilihan strategi untuk menutupi kelemahan dan kekurangan di mata rakyat, bukan bagaimana mereka mengatasi kelemahan dan kekurangan itu. Wakil rakyat selalu mengatakan berjuang untuk rakyat, tapi banyak diantaranya yang sebenarnya ikut-ikutan berbohong, dalam pemilu mereka memilih calon yang “bayar” bukan calon yang “benar”. Dan sebagainya, dan sebagainya...
Duh, sudah sedemikian parahnya ketidak-jujuran melanda kehidupan
bangsa kita. Perilaku jujur menjadi langka. Lebih parah lagi sebagian dari kita bahkan takut untuk berbuat jujur, baik di lingkungan privat maupun public.  Alasan-alasan takut dijauhi, takut cekcok, takut dibenci, takut dimarahi, takut dicopot jabatan, takut dipecat dan takut-takut lainnya menjadi pemicu sebagian orang berlaku tidak jujur. Kata-kata bijak “jujur agawe luhur” yang dulu kita terima dan kita yakini, dimata mereka yang takut itu rupanya telah berubah makna menjadi “jujur malah agawe ajur” sehingga harus dihindari dan dijauhi.
Bicara tentang takut, harusnya kita lebih takut terhadap akibat ketidak-jujuran daripada takut terhadap akibat kejujuran itu. Karena setiap ketidak-jujuran akan berkontribusi bagi timbulnya kerusakan demi kerusakan. Kerusakan itu bagaikan gelindingan bola salju yang semula kecil namun bila terus dibiarkan akan menjadi besar. Kerusakan itu akan terjadi pada diri kita, keluarga kita, bangsa kita dan Negara kita. Sayangnya ternyata sebagian dari kita lebih takut berbuat jujur dibanding takut pada kerusakan akibat ketidak-jujuran. Maka terjadilah kerusakan-kerusakan yang nyata. Stress, depresi, perilaku hipokrit, kriminalitas, perselingkuhan, perzinaan,  perceraian, konflik, perilaku anarkhis, kolusi, kong kalikong, rekayasa politik dan hukum ala mafioso, korupsi dan sebagainya adalah bukti kerusakan yang nyata akibat ketidak-jujuran.
Jujur, marilah kita coba jujur pada diri sendiri, apakah kita tergolong kelompok yang masih menghargai nilai kejujuran ? Coba kita rasakan, adakah kemasygulan di hati kita melihat keadaan di sekitar kita yang penuh ketidak-jujuran itu? Lalu seberapa kuatkah dorongan dihati kita untuk berusaha berperilaku jujur, baik kepada diri sendiri, kepada orang-orang terdekat kita, kepada sesama dan apalagi kepada Tuhan ?
Jujur, bahwa tulisan tentang kejujuran dan ajakan untuk kembali menghormati nilai kejujuran seperti ini tidak selalu mendapatkan respon positif, bahkan mungkin ada sebagian yang memandang naif bahkan mencibir sinis, terutama oleh mereka yang memang sudah tidak pernah mampu dan mau berlaku jujur. Namun bagi yang masih memiliki keyakinan terhadap begitu bermaknanya sebuah kejujuran bagi kemaslahatan akan terus melekat di dasar hatinya suatu kalimat bijak : “sejatine jujur iku agawe luhur, dudu agawe ajur “ dan tidak pernah berhenti memperjuangkannya. (Tribute untuk saudara-saudaraku yang terus gigih memperjuangkan kejujuran dan kebenaran. Salam fastabiqul khoirot).
Penulis adalah Dosen Universitas Islam Kadiri-Kediri, Alumnus Pascasarjana MAP-UGM Yogyakarta, Ketua Umum GR-MKLB, dan Admin Grup FB MKLB.
Artikel ini pernah dimuat di Radar Kediri – Jawa Pos Edisi November 2011

Oleh : Rahmat Mahmudi

Share this article :

+ komentar + 1 komentar

Posting Komentar