PASAR TRADISIONAL

Rabu, 08 Januari 20141komentar


MENYOAL PASAR TRADISIONAL

Tanpa disadari, bahwa dalam hiruk-pikuk keseharian, kita tidak bisa dilepaskan dari kosa kata pasar.

Dalam definisi ekonomi baku, pasar di terakan sebagai tempat bertemunya penjual dan pembeli yang bertransaksi jual beli barang atau jasa. Secara gradual hidup kita bisa dianalogikan dikelilingi oleh pasar. Dari pengertian pasar tradisional, modern hingga virtual. Atau klasifikasi lain, semacam pasar serba ada (super market) hingga pasar yang memperdagangkan saham. Daftar akan semakin panjang bila kita memasukkan nama-nama tempat, hari atau atribut lain setelah kata “pasar”. Sebut saja pasar minggu, pasar malam, pasar kaget dan lain-lain.Tulisan singkat ini akan mengangkat pasar tradisional, sebuah tempat yang oleh sebagian orang dihindari sekaligus dicintai.

Banyak orang merasa enggan masuk pasar tradisional yang becek, kotor dan bau. Meskipun kedekatan antara penjual dan pembeli lebih terasa, karena interaksi sosial yang hangat dan personal secara berulang kali kerap terjadi.
Keramahtamahan persuasi penjual, tak jarang membuat pembeli takluk. Memang di pasar tradisional tidak ada senyum ramah pramuniaga yang baunya wangi menawarkan barang. Tidak terdengar bunyi ketok sepatu ketika kaki ringan melangkah menyusuri los-los yang agaknya secara penampilan, seperti sebuah komoditi yang tampil dengan bentuk, warna, aroma dan tekstur yang kurang menggugah. Terkesan mengabaikan kebersihan dan estetika. Blusak-blusuk di pasar tradisional yang lengkap dengan seni tawar menawar belum jadi tujuan favorit untuk avonturir.

Pasar Tradisional memang makin sepi, oligarki dan etalasenya makin terasing dari katalisator politik yang dulu demikian kuat. Sebagai sebuah institusi yang membangunkan ekonomi rakyat kecil, pasar tradisonal hakekatnya bisa menjadi katup pengaman sosial ekonomi masyarakat, sekaligus pilar kekuatan ekonomi yang bersifat informal.

Sesungguhnya pasar tradisional justru banyak membantu dan memberi andil besar dalam mengurangi pengangguran. Kendati demikian, peran pasar tradisional makin tergerus. Perlahan, para pemilik modal raksasa masuk dalam bisnis eceran dan kecil-kecilan, namun dengan suntikan modal besar serta manajemen canggih, Bisnis ritel, waralaba, franchise ”memaksa“ masyarakat semakin konsumtif dengan pelayanan kebutuhan yang memuaskan. Secara tidak langsung pemilik modal telah memotong jalur perdagangan para pelaku usaha di pasar tradisional. Tapi kenyaatannya, pasar tradisional telah jadi sebuah metafora yang menyesakkan, semakin terdesak dan tergusur. Kita saksikan apa yang terjadi di sekitar kita, komunitas yang beragam, yang bersifat lokal telah retak.

Kebersamaan manusia berubah jadi massa. Kemudian terjadi kerumunan dimana segala macam jual beli berlangsung.
Itulah garis besar yang kita alami sekarang, suatu masyarakat tradisional yang bergerak ke sesuatu yang “ modern “.

Pada akhirnya, ia juga bisa melukiskan satu episode dalam proses embourgeoisment (atau jika kita bersedia meng-Indonesia-kannya secara riskan, pemborjuisan ) dunia yang kini sedang terjadi. Kini, bahkan kita bisa berbicara tentang maraknya dua hal yang oleh Daniel Bell disebut sebagai ‘’ dua penemuan manusia paling menakutkan sejak ditemukannya mesiu’’ : iklan dan cara beli barang tanpa bayar kontan. Yang pertama tak putus-putusnya menggoda, dan kemudian mengubah di kepala kita, keinginan jadi keperluan. Yang kedua memungkinkan orang memperoleh benda- benda tak terjangkau dengan gampang, dengan mencicil atau mengangsur, dengan kartu kredit atau ilusi ‘’ mudah dapat ‘’ yang lain. Secara kontradiksi filosofis, gejala ini menyentil kesadaran dan pikiran sehat kita. Karena bangsa Indonesia tidak hanya dibangun oleh orang kaya saja, tapi juga dibangun diatas peluh dan keringat orang miskin. Maka bentuk-bentuk marginalisasi peran pasar tradisional tidak akan menghasilkan sesuatu yang optimal. Sebagai suatu struktur yang telah built-in lewat kegiatan massa, sebenarnya pasar tradisional tinggal dibenahi kembali sebagai fenomena yang bernilai guna bagi pengembangan perekonomian kita. Sebagai kawasan yang stimulatif dan perlu diolah secara strategis, pasar tradisional adalah bangunan sawah yang perlu dikokohkan sebagai sendi penopang jika bangunan atas ditimpa langit yang runtuh. Pasar tradisional punya kepekaan untuk tetap berkembang mengikuti trend ekonomi kita yang semakin kapitalistik. Inilah refleksi kecil perihal pasar tradisional, yang barangkali tampak terlalu silam untuk dibicarakan berkaitan dengan kekhawatiran postmodern kita saat ini. Akan seperti apa pasar tradisional jika pergulatan pembangunan yang memukau ini meninggalkan perhatian kita pada vitalitas ekonomi yang jadi entitas masyarakat kebanyakan?

Memang, kapitalisme adalah bagian dari modernitas yang lahir bersama penaklukan dunia. Yang mendukung
kemajuan tak selamanya benar, dunia modern tidak dengan sendirinya membawa manfaat. Modern dengan dinamika kemajuannya, menampilkan diri laksana mesin yang berfungsi ganda, pelindas sekaligus pembangun, perenggut sekaligus menjanjikan segalanya. Oleh karena itu, kita ingin melihat dan merasakan ekonomi yang stabil, maju, kuat dan tahan banting, dan tidak hanya sibuk mengurusi pasar modern dan sophisticated saja, tetapi fokus pada penataan pasar tradisional yang lingkungannya bersih, transaksi yang semakin aman dan nyaman dalam kohesivitas sosial hingga keintiman penjual dan pembeli layaknya seperti sebuah keluarga. Memang tidak semuanya jadi ideal. Tapi ada gambaran lain : dikancah pasar tradisional bisa ada persuasi persaingan, namun juga ada dialog, proses belajar dan kesempatan kreatif. Dari tengah pasar tradisional juga ada dorongan yang bisa menggairahkan dan menciptakan dinamika.Kekuatan pasar tradisional justru terletak pada sifatnya yang tidak seperti perangkap. Pasar tradisional adalah sesuatu yang cair, luwes dan di dalamnya ternyata tidak semua manusia jadi komoditi. Oleh karenanya identitas sebenarnya tak pernah datang sendiri, ia dirumuskan oleh nama dan bahasa. Sebuah bangunan simbol yang disusun bernama Peraturan Daerah tentang Perlindungan Pasar Tradisional sudah selayaknya mulai digagas.



Oleh : Taufik Chavifudin, SE.MM.
Penulis adalah Anggota DPRD Kabupaten Kediri Periode 2009 -2014 dari Partai Persatuan Pembangunan, Anggota

Grup Diskusi FB – MKLB.
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

4 Juli 2015 pukul 16.03

Permisi gan pemilik blog izin bagi bagi info
okeyprofits.com
Lakukan modal penyertaan untung puluhan juta
deposit 100 USD bonus 20 USD,1 USD x Rp.9.000,-
keuntungan 2% persen perhari dari modal awal kontrak 100 hari
untuk info lebih lanjut 0821 666 43133 M Rasyid
Daftar Gratis

Posting Komentar