MENATA KEDIRI TANPA KORUPSI (?)

Senin, 30 Desember 20130 komentar

GR-MKLB - Ketika Rabu malam (2/10/13) stasiun televisi swasta nasional ramai-ramai melaporkan secara langsung operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Akil Mochtar (AM) sang Ketua Mahkamah Konstitusi, maka publikpun dibuat tercekat. Bagaimana tidak, sang hakim konstitusi yang menjadi tumpuan akhir bagi masyarakat mencari keadilan justru tertangkap tangan karena kasus suap terkait perkara yang ditanganinya. Kejadian ini praktis hanya berselang tujuh hari setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan sengketa Pemilukada Kota Kediri dengan menolak seluruhnya gugatan pasangan Samsul Ashar – Sunardi sekaligus mengukuhkan Keputusan KPU Kota Kediri yang menetapkan pasangan Abdullah Abubakar - Lilik Muchibbah sebagai Walikota dan Wakil Walikota Kediri terpilih.
Mungkin anda bertanya apa relevansinya sehingga saya menghubungkan kasus OTT KPK terhadap AM itu dengan Keputusan MK yang memenangkan Mas Abu – Ning Lik (MA-NL). Tidak, saya sama sekali tidak bermaksud membuat opini ”jangan-jangan Keputusan MK itu juga terjadi karena suap”, apalagi opini ”jangan-jangan Keputusan MK itu karena MA–NL telah menyuap AM”. Lalu apa ? Ada fenomena menarik yang menunjukkan benang merah antara AM dan MA–NL ini. Jangan, jangan terburu berburuk sangka, justru saya ingin menunjukkan sisi kesamaan positif di antara keduanya, yakni sama-sama memiliki komitmen untuk memerangi korupsi (untuk AM setidak-tidaknya sampai dengan sebelum tertangkap tangan KPK). AM dikenal garang dalam menyikapi perilaku koruptif pejabat publik. Misalnya, dia pernah menggagas pemberian sanksi potong jari bagi koruptor, dan menunjukkan keprihatinannya terhadap kasus korupsi SKK Migas melalui akun tweeter-nya (Jawa Pos, 4/10/13).
Sedangkan MA–NL bagi masyarakat Kota Kediri tidaklah asing lagi karena telah jelas-jelas menggunakan jargon ”Menata Kediri Tanpa Korupsi” saat mencalonkan diri dalam Pemilukada Walikota dan Wawalikota Kediri 2013. Nah, bila AM ternyata saat ini tersangkut kasus korupsi (baca : suap) maka tidak salah ketika publik menjadi marah dan bersumpah serapah karena merasa dibohongi oleh AM dengan kepura-puraannya yang seolah-olah membenci perilaku koruptif namun ternyata saat ini justru ditetapkan KPK sebagai tersangka untuk dua kasus suap sengketa Pemilukada sekaligus (Jawa Pos, 4/10/13).
Disinilah letak pembeda antara AM dan MA–NL. Bila integritas seorang AM sekarang terjerembab dimata publik, tidak demikian halnya dengan MA–NL. Setidaknya masyarakat Kota Kediri masih menaruh harapan besar kepada MA–NL untuk membuktikan janjinya menata Kediri tanpa korupsi, serta janji-janji lain yang diusungnya saat kampanye dulu. Sudah barang tentu MA–NL tidak ingin terpeleset dan terjerembab seperti AM. Karena itu, kasus AM tentu memberi pelajaran yang sangat berharga bagi MA–NL : bahwa berkata itu mudah, yang sulit adalah melakukan. Berjanji itu gampang, yang susah adalah menepatinya. Setiap orang bisa berkata tidak terhadap korupsi, tapi tidak setiap orang bisa benar-benar tidak korupsi khususnya saat memegang kekuasaan.
Benarkah bukan hal mudah untuk tidak korupsi saat berkuasa ? Menilik banyaknya pejabat publik (pemegang kekuasaan) yang terjerat kasus korupsi, setidaknya fenomena ini menjadi pembenar atas pertanyaan itu. Bahkan dalam teori-teori politik banyak diungkapkan bahwa kekuasaan itu cenderung korup (power tend to corrupt). Bagi orang yang tidak memegang kekuasaan sangat mudah untuk tidak korupsi, lagi pula mau korupsi apa wong tidak punya kuasa. Tapi bagi pemegang kekuasaan, korupsi merupakan godaan terbesar untuk dilakukan, karena dengan kekuasaan yang dimiliki dia punya peluang untuk itu : dia mengelola anggaran, punya wewenang membuat keputusan yang menguntungkannya, punya staf yang loyal untuk memuluskan korupsi, dan bila toh dia terjerat kasus korupsi maka dengan uang yang dikorupnya dia bisa ”menutup” kasus itu dan seterusnya.
Saya jadi teringat pengalaman sekitar 13 tahun yang lalu, ketika diajak berdiskusi empat mata dengan seorang Kepala Daerah yang baru beberapa bulan dilantik. Saat itu dengan gayanya yang berusaha terbuka, dia meminta saran tentang bagaimana membangun daerah yang dipimpinnya agar semakin maju. Dengan sigap dan penuh husnuzhon saya sarankan agar dia membangun pemerintahan daerah yang baik melalui konsep clean government, yakni pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Bukannya saya tidak paham bahwa membangun clean government bukanlah perkara mudah karena merupakan persoalan yang kompleks yang berkaitan dengan begitu banyak faktor yang tidak selalu berada dalam kendali Kepala Daerah. Namun saya berkeyakinan bahwa dengan kekuasaan yang dimiliki seorang Kepala Daerah, bila dia mau, pasti dia bisa menciptakan clean government. Lebih dari itu saya menilai, bahwa dia kala itu merupakan figur Kepala Daerah yang memenuhi prasyarat untuk bisa melakukan itu. Betapa tidak, ditinjau dari segi finansial dan moralitas sebelum menjadi Kepala Daerah dia sangatlah mumpuni dan teruji, ditambah dukungan partai politik pengusung yang merupakan pemenang Pemilu Legislatif daerah. Jadi, kurang apa lagi ?
Namun ternyata apa jawabnya ? Dia menilai bahwa situasinya belum mendukung untuk bisa menciptakan pemerintahan yang bersih. Katanya, birokrasi belum siap untuk diajak bersih, partai politik juga masih sering merecoki dengan permintaan dukungan dana operasional, banyak elemen masyarakat yang membutuhkan bantuan dana yang tidak bisa dianggarkan, begitu pula banyak biaya operasional Kepala Daerah dan birokrasi yang tidak bisa dianggarkan. Intinya dia menyatakan sulit untuk menerapkan pemerintahan daerah yang bersih kala itu. Faktanya kemudian, selama dibawah kepemimpinan dia hingga selesai masa jabatan yang kedua, dia tidak pernah mampu menciptakan pemerintahan daerah yang bersih, meski sebagai Kepala Daerah dia tidak pernah secara hukum terbukti terjerat suatu kasus korupsi.
Kembali ke Mas Abu – Ning Lik. Pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Kediri terpilih yang tinggal menunggu pelantikan ini telah mencanangkan tekad untuk bisa menata Kota Kediri tanpa korupsi. Sebuah tekad yang luhur dan patut diapresiasi, yang perwujudannya akan dinanti oleh masyarakat kota Kediri. Merujuk kasus AM dan para pejabat publik lannya yang korup, serta kisah nyata Kepala Daerah diatas, kiranya Mas Abu - Ning Lik perlu menyusun rencana-rencana strategis yang mampu menjawab kompleksitas persoalan manakala beliau berdua benar-benar ingin mewujudkan tekad mulia itu.
Perlu energi dan kegigihan yang extra ordinary, serta penggalangan banyak pihak untuk bisa mewujudkan clean government di Kota Kediri. Tentu kita tidak berharap, bila akhirnya nanti masyarakat Kota Kediri justru menilai bahwa Mas Abu – Ning Lik ternyata sama saja dengan AM yang hanya bisa berkata tidak pada korupsi, namun ternyata dalam prakteknya justru menjadi yang terdepan dalam melakukan korupsi. Naudzubillahi min dzalika. Selamat bertugas Mas Abu – Ning Lik, semoga Allah SWT senantiasa memberikan bimbingan dan perlindungan. Amin.

 (Penulis adalah Dosen Universitas Islam Kadiri (Uniska) Kediri, Alumnus Pascasarjana MAP-UGM Yogyakarta, Ketua Umum GR-MKLB, dan Admin di Grup FB – MKLB).

Artikel ini pernah dimuat di harian Radar Kediri – Jawa Pos, Selasa, 8 Oktober 2013.

(Oleh : Rahmat Mahmudi)
Share this article :

Posting Komentar