GR-MKLB - Ketika Rabu malam (2/10/13)
stasiun televisi swasta nasional ramai-ramai melaporkan secara langsung operasi
tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Akil Mochtar (AM) sang Ketua
Mahkamah Konstitusi, maka publikpun dibuat tercekat. Bagaimana tidak, sang
hakim konstitusi yang menjadi tumpuan akhir bagi masyarakat mencari keadilan
justru tertangkap tangan karena kasus suap terkait perkara yang ditanganinya.
Kejadian ini praktis hanya berselang tujuh hari setelah Mahkamah Konstitusi
memutuskan sengketa Pemilukada Kota Kediri dengan menolak seluruhnya gugatan
pasangan Samsul Ashar – Sunardi sekaligus mengukuhkan Keputusan KPU Kota Kediri
yang menetapkan pasangan Abdullah Abubakar - Lilik Muchibbah sebagai Walikota
dan Wakil Walikota Kediri terpilih.
Mungkin anda bertanya apa relevansinya sehingga saya menghubungkan
kasus OTT KPK terhadap AM itu dengan Keputusan MK yang memenangkan Mas Abu –
Ning Lik (MA-NL). Tidak, saya sama sekali tidak bermaksud membuat opini
”jangan-jangan Keputusan MK itu juga terjadi karena suap”, apalagi opini
”jangan-jangan Keputusan MK itu karena MA–NL telah menyuap AM”. Lalu apa ? Ada
fenomena menarik yang menunjukkan benang merah antara AM dan MA–NL ini. Jangan,
jangan terburu berburuk sangka, justru saya ingin menunjukkan sisi kesamaan
positif di antara keduanya, yakni sama-sama memiliki komitmen untuk memerangi
korupsi (untuk AM setidak-tidaknya sampai dengan sebelum tertangkap tangan
KPK). AM dikenal garang dalam menyikapi perilaku koruptif pejabat publik.
Misalnya, dia pernah menggagas pemberian sanksi potong jari bagi koruptor, dan
menunjukkan keprihatinannya terhadap kasus korupsi SKK Migas melalui akun
tweeter-nya (Jawa Pos, 4/10/13).
Sedangkan MA–NL bagi masyarakat Kota Kediri tidaklah asing lagi
karena telah jelas-jelas menggunakan jargon ”Menata Kediri Tanpa Korupsi” saat
mencalonkan diri dalam Pemilukada Walikota dan Wawalikota Kediri 2013. Nah,
bila AM ternyata saat ini tersangkut kasus korupsi (baca : suap) maka tidak
salah ketika publik menjadi marah dan bersumpah serapah karena merasa dibohongi
oleh AM dengan kepura-puraannya yang seolah-olah membenci perilaku koruptif
namun ternyata saat ini justru ditetapkan KPK sebagai tersangka untuk dua kasus
suap sengketa Pemilukada sekaligus (Jawa Pos, 4/10/13).
Disinilah letak pembeda antara AM dan MA–NL. Bila integritas seorang
AM sekarang terjerembab dimata publik, tidak demikian halnya dengan MA–NL.
Setidaknya masyarakat Kota Kediri masih menaruh harapan besar kepada MA–NL
untuk membuktikan janjinya menata Kediri tanpa korupsi, serta janji-janji lain
yang diusungnya saat kampanye dulu. Sudah barang tentu MA–NL tidak ingin
terpeleset dan terjerembab seperti AM. Karena itu, kasus AM tentu memberi
pelajaran yang sangat berharga bagi MA–NL : bahwa berkata itu mudah, yang sulit
adalah melakukan. Berjanji itu gampang, yang susah adalah menepatinya. Setiap
orang bisa berkata tidak terhadap korupsi, tapi tidak setiap orang bisa
benar-benar tidak korupsi khususnya saat memegang kekuasaan.
Benarkah bukan hal mudah untuk tidak korupsi saat berkuasa ? Menilik
banyaknya pejabat publik (pemegang kekuasaan) yang terjerat kasus korupsi,
setidaknya fenomena ini menjadi pembenar atas pertanyaan itu. Bahkan dalam
teori-teori politik banyak diungkapkan bahwa kekuasaan itu cenderung korup
(power tend to corrupt). Bagi orang yang tidak memegang kekuasaan sangat mudah
untuk tidak korupsi, lagi pula mau korupsi apa wong tidak punya kuasa. Tapi
bagi pemegang kekuasaan, korupsi merupakan godaan terbesar untuk dilakukan,
karena dengan kekuasaan yang dimiliki dia punya peluang untuk itu : dia
mengelola anggaran, punya wewenang membuat keputusan yang menguntungkannya,
punya staf yang loyal untuk memuluskan korupsi, dan bila toh dia terjerat kasus
korupsi maka dengan uang yang dikorupnya dia bisa ”menutup” kasus itu dan
seterusnya.
Saya jadi teringat pengalaman sekitar 13 tahun yang lalu, ketika
diajak berdiskusi empat mata dengan seorang Kepala Daerah yang baru beberapa
bulan dilantik. Saat itu dengan gayanya yang berusaha terbuka, dia meminta
saran tentang bagaimana membangun daerah yang dipimpinnya agar semakin maju.
Dengan sigap dan penuh husnuzhon saya sarankan agar dia membangun pemerintahan
daerah yang baik melalui konsep clean government, yakni pemerintahan yang
bersih dari korupsi.
Bukannya saya tidak paham bahwa membangun clean government bukanlah
perkara mudah karena merupakan persoalan yang kompleks yang berkaitan dengan
begitu banyak faktor yang tidak selalu berada dalam kendali Kepala Daerah.
Namun saya berkeyakinan bahwa dengan kekuasaan yang dimiliki seorang Kepala
Daerah, bila dia mau, pasti dia bisa menciptakan clean government. Lebih dari
itu saya menilai, bahwa dia kala itu merupakan figur Kepala Daerah yang
memenuhi prasyarat untuk bisa melakukan itu. Betapa tidak, ditinjau dari segi
finansial dan moralitas sebelum menjadi Kepala Daerah dia sangatlah mumpuni dan
teruji, ditambah dukungan partai politik pengusung yang merupakan pemenang
Pemilu Legislatif daerah. Jadi, kurang apa lagi ?
Namun ternyata apa jawabnya ? Dia menilai bahwa situasinya belum
mendukung untuk bisa menciptakan pemerintahan yang bersih. Katanya, birokrasi
belum siap untuk diajak bersih, partai politik juga masih sering merecoki
dengan permintaan dukungan dana operasional, banyak elemen masyarakat yang
membutuhkan bantuan dana yang tidak bisa dianggarkan, begitu pula banyak biaya
operasional Kepala Daerah dan birokrasi yang tidak bisa dianggarkan. Intinya
dia menyatakan sulit untuk menerapkan pemerintahan daerah yang bersih kala itu.
Faktanya kemudian, selama dibawah kepemimpinan dia hingga selesai masa jabatan
yang kedua, dia tidak pernah mampu menciptakan pemerintahan daerah yang bersih,
meski sebagai Kepala Daerah dia tidak pernah secara hukum terbukti terjerat
suatu kasus korupsi.
Kembali ke Mas Abu – Ning Lik. Pasangan calon Walikota dan Wakil
Walikota Kediri terpilih yang tinggal menunggu pelantikan ini telah
mencanangkan tekad untuk bisa menata Kota Kediri tanpa korupsi. Sebuah tekad
yang luhur dan patut diapresiasi, yang perwujudannya akan dinanti oleh
masyarakat kota Kediri. Merujuk kasus AM dan para pejabat publik lannya yang
korup, serta kisah nyata Kepala Daerah diatas, kiranya Mas Abu
- Ning Lik perlu menyusun rencana-rencana strategis yang mampu menjawab
kompleksitas persoalan manakala beliau berdua benar-benar ingin mewujudkan
tekad mulia itu.
Perlu energi dan kegigihan yang extra ordinary, serta penggalangan
banyak pihak untuk bisa mewujudkan clean government di Kota Kediri. Tentu kita
tidak berharap, bila akhirnya nanti masyarakat Kota Kediri justru menilai bahwa
Mas Abu – Ning Lik ternyata sama saja dengan AM yang hanya bisa berkata tidak
pada korupsi, namun ternyata dalam prakteknya justru menjadi yang terdepan
dalam melakukan korupsi. Naudzubillahi min dzalika. Selamat bertugas Mas Abu –
Ning Lik, semoga Allah SWT senantiasa memberikan bimbingan dan perlindungan.
Amin.
(Penulis adalah Dosen
Universitas Islam Kadiri (Uniska) Kediri, Alumnus Pascasarjana MAP-UGM
Yogyakarta, Ketua Umum GR-MKLB, dan Admin di Grup FB – MKLB).
Artikel ini
pernah dimuat di harian Radar Kediri – Jawa Pos, Selasa, 8 Oktober 2013.
(Oleh : Rahmat
Mahmudi)
Posting Komentar