Revitalisasi Pancasila

Kamis, 09 Januari 20140 komentar



Revitalisasi Pancasila

Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak ragam suku, ras, budaya dan agama berpotensi menimbulkan kerawanan konflik apabila keberagaman itu tidak dikelola dalam bingkai ideologi bangsa yang mempersatukannya. Itulah yang menjadi inspirasi para pendiri republik ini (founding fathers) dalam ikhtiarnya “menemukan ideologi yang mampu mengakomodasikan dan mempersatukan keragaman bangsa ini. 

Kita patut bersyukur, atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, para konseptor republik ini dengan ketulusan dan keluhuran niat semata-mata demi kejayaan bangsa, mampu secara arif menggali nilai-nilai luhur bangsa, merangkum dan mengkristalisasikannya menjadi sebuah ideologi bagi bangsa Indonesia yang kemudian kita kenal sebagai Pancasila. Para bapak bangsa kita ini meyakini bahwa ideologi Pancasila dengan lima nilai dasarnya dan semboyannya “Bhinneka Tunggal Ika” akan mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan atas keberagaman bangsa ini dan mengantarkan upaya bangsa ini dalam mewujudkan cita-cita bersama, masyarakat yang adil dan makmur. 

Sebagai ideologi, Pancasila yang semula “hanya” merupakan gagasan, ide, cita-cita bersama itu harus dapat ditanamkan (internalisasi) dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat menjadi nilai-nilai yang diyakini dan dijadikan pegangan hidup bangsa, sehingga gagasan, ide dan cita-cita bersama itu dapat mewujud dalam kehidupan nyata. Salah satu langkah krusialnya adalah dijadikannya Pancasila sebagai dasar Negara yang menempatkannya sebagai sumber tata nilai kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dalam perjalanannya, sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945, upaya internalisasi dan pengembangan Pancasila sebagai ideologi bangsa tidak selalu berjalan mulus. Bahkan terhadap eksistensi ideologi Pancasila hingga saat inipun masih ada pihak-pihak tertentu yang mempersoalkannya. Akibatnya implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pun belum sepenuhnya memenuhi harapan.

Sejarah menunjukkan terjadinya gelombang pasang surut ideologi Pancasila, bukan hanya pada tataran grassroot di masyarakat bawah namun justru banyak terjadi pada tataran elit politik dan pemerintahan. Pada masa Orde Lama, upaya internalisasi Pancasila dikemas dalam berbagai bentuk pendidikan kewarganegaraan (civics) sebagai bagian dari program nation and character building. Nasionalisme dan patriotisme bangsa ditumbuhkan sedemikian rupa. Namun ketika kemudian terjadi penyelewengan Pancasila dengan dipaksakannya penerapan demokrasi terpimpin yang merupakan bentuk lain dari pemerintahan otoriter dan juga pengangkatan Ir. Soekarno menjadi presiden seumur hidup menunjukkan bahwa proses internalisasi ideologi Pancasila itu belum berhasil. Belum lagi munculnya faksi-faksi bangsa yang berupaya mengusung ideologi-ideologi lain pada masa itu seperti komunisme (PKI) dan ideologi negara agama (Darul Islam, Tentara Islam Indonesia) .

Berkaca pada pengalaman itu, Orde Baru dibawah kepemimpinan Jenderal Soeharto berupaya merubah pendekatan dalam proses internalisasi dan implementasi Pancasila. Pemerintah Orde Baru kala itu menyatakan tekad untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Tekad itu diikuti dengan gerakan mem-Pancasila-kan segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka muncullah jargon-jargon demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila dan asas tunggal Pancasila. Pemerintah juga meluncurkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan membentuk lembaga BP-7 yang secara khusus bertugas memasyarakatkan P-4 tersebut. Sayangnya Orde Baru juga terjebak dalam praktek-praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, antara lain pemberian legitimasi terhadap jabatan Presiden yang bisa dipilih berulang-ulang tanpa ada batas, pembatasan hak politik rakyat, sistem ekonomi konglomerasi, sistem politik dan pemerintahan yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Ketika reformasi terjadi tahun 1998, kondisi traumatic bangsa terhadap penyelewengan Pancasila yang dilakukan pada masa Orde Baru, mengakibatkan penolakan terhadap segala bentuk produk-produk Orde Baru. Sistem politik, tata negara, dan tata pemerintahan termasuk tata pemerintahan daerah dirubah. Alat-alat internalisasi dan sosialisasi Pancasila seperti P-4 dan BP-7 dihapus dan dibubarkan. Sementara pada saat yang sama belum ada konsep baru dalam pelaksanaan internalisasi dan sosialisasi Ideologi Pancasila. Maka praktis terjadi stagnasi dalam proses internalisasi dan juga implementasi Pancasila. Ideologi Pancasila menjadi tidak populer, jarang diperbincangkan, dan berangsur-angsur terjadi proses demistifikasi, kepercayaan dan keyakinan terhadap Pancasila memudar, kalau tidak mau dibilang hilang dari jiwa bangsa ini. Bangsa Indonesia seperti kehilangan arah dan orientasi, seolah bangsa ini berjalan tanpa ideologi. Pada saat yang sama tuntutan akan kebebasan individu dan hak asasi manusia paska reformasi memicu menguatnya paham individualisme dan liberalisme, yang secara langsung maupun tidak langsung mempercepat memudarnya Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Implikasi dari proses demistifikasi Pancasila itu dapat kita lihat dewasa ini. Bagaimana individu-individu, kelompok-kelompok dan elemen-elemen bangsa ini terjangkit penyakit egoisme dan individualisme. Konflik antar elit politik dan pemerintahan, bahkan antar (pejabat) lembaga tinggi negara menjadi hal yang biasa. Di tataran grassroot, konflik dan kerusuhan sosial terjadi dimana-mana. Kasus kerusuhan Ambon yang beberapa kali berulang, tragedi di Poso, konflik antar suku di Sampit beberapa tahun lalu dan lain-lain merupakan bukti konkrit betapa potensi konflik karena keberagaman bangsa kita ini telah menjadi nyata (manifest) dan terus mengintai perjalanan bangsa kita. Sementara itu, pergaulan dunia internasional khususnya trend globalisasi juga memberikan pengaruh yang signifikan (positif maupun negatif) terhadap perkembangan bangsa ini. Pengaruh itu menembus dinding-dinding pemisah antar negara dan menyentuh berbagai dimensi kehidupan bangsa Indonesia, mulai dari dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan.

Kondisi nasional dan internasional sedemikian itu menghadapkan bangsa Indonesia pada berbagai bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) yang dapat menjadi kendala bahkan menggagalkan upaya bangsa ini mewujudkan kehidupan masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita Proklamasi. Terhadap hal ini tentu harus menjadi kesadaran bersama seluruh elemen bangsa ini, bahwa bila kita tidak segera mengambil langkah-langkah solusinya, maka keterpurukan bangsa ini hanya tinggal menunggu waktu. Tentunya sangatlah naif, ketika bangsa-bangsa di dunia sudah tinggal landas, kita justru masih sibuk dengan konflik internal untuk hal-hal yang tidak substansial dan bahkan masih ingin terus berdebat tentang ideologi. Itulah sebenarnya ancaman dan tantangan nyata yang harus diatasi bangsa Indonesia dewasa ini. Segala gambaran negatif tentang Pancasila yang terbawa oleh perbuatan para pemimpin masa lampau tentu harus dinetralisasi dan diluruskan. Perlu ditumbuhkan kembali keyakinan Bangsa Indonesia atas kebenaran ideologi Pancasila dengan menggali segi positif yang didatangkan Pancasila bagi masa depan bangsa Indonesia serta segi negatif yang mungkin timbul kalau Pancasila ditinggalkan.

Karena itu menjadi sangat penting bagi bangsa Indonesia untuk membangun komitmen bersama, sebagaimana para founding fathers kita dulu juga duduk bersama dan berkomitmen demi bangsa dan negara.  Komitmen bersama itu harus dibangun mulai dari hal yang mendasar yakni ideologi bangsa dan dasar negara, serta bagaimana mengaplikasikan ideologi dan dasar negara itu secara efektif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Membangun komitmen atas ideologi bukanlah dimaksudkan untuk memperdebatkan lagi tentang ideologi Pancasila apalagi mengintrodusir ideologi lain, melainkan membangun komitmen untuk tetap setia kepada Pancasila yang pada hakekatnya merupakan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Kesetiaan kepada Pancasila inilah yang kemudian mendasari implementasi ideologi dan dasar negara ini dalam seluruh aspek kehidupan bangsa ini.

Membangun komitmen terhadap Pancasila hakekatnya perlu didahului dengan menyamakan persepsi seluruh elemen bangsa terhadap Pancasila, mulai dari elit pemimpin hingga ke masyarakat bawah, rakyat kecil. Kesamaan persepsi terhadap Pancasila ini menjadi persoalan mendasar bagi bangsa dan negara Indonesia karena berkaitan dengan filosofi, ideologi, dan dasar negara. Bila kesamaan persepsi telah terjalin, maka akan menjadi mudah komitmen bangsa terbangun. Itu berarti bahwa harus segera dirumuskan kembali konsep, strategi dan metode untuk menginternalisasikan dan mensosialisasikan kembali Pancasila.

Tentu menjadi angin segar ketika para elit negara kita telah menunjukkan keprihatinan bersama terhadap perkembangan dan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara kita, dan kemudian memunculkan komitmen untuk membangun kembali karakter bangsa (nation character building) dengan menegakkan kembali empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara kita : Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Kita, seluruh bangsa Indonesia yang masih mencintai Republik ini tentunya mengharap dan menunggu kebijakan strategis dan langkah konkrit para elit negeri ini dalam upaya merevitalisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Lestarilah Pancasila. Jayalah bangsa Indonesia.


Oleh : Rahmat Mahmudi

Penulis adalah Dosen Universitas Islam Kadiri-Kediri, Alumnus Pascasarjana MAP-UGM Yogyakarta, Ketua Umum GR-MKLB, dan Admin Grup FB MKLB.

Share this article :

Posting Komentar